Rabu, 23 Maret 2011

Jepang: Tsunami, Nuklir, Dan HAARP?


PLTN Fukushima Daiichi
PLTN Fukushima Daiichi
Jalan kehidupan Jepang pada era modern seolah ditentukan oleh nuklir. Energi nuklir pernah menjadi kutukan dan berbagi berkah bagi negara yang miskin sumber daya alam itu. Jepang yang kita kenal setengah abad terakhir adalah Jepang yang berawal dari sebuah tragedi nuklir. Jatuhnya bom atom di Hiroshima, 6 Agustus 1945 dan Nagasaki, tiga hari kemudian, meluluhlantakan Kekaisaran Matahari Terbit ini dan menorehkan luka yang teramat mendalam bagi rakyatnya.
Tanggal 11 Maret 2011, gempa berkekuatan 9,0 skala Richter menghantam bagian timur laut Pulau Honsu, pulau utama Jepang.  Menurut laporan dari Badan Polisi Nasional Jepang per tanggal 16 Maret 2011, korban tewas mencapai angka 3.676 orang, 1.990 terluka, dan 7.558 orang masih dilaporkan hilang di 16 prefektur yang disapu tsunami. Diperkirakan, angka tewas di lapangan jauh lebih besar lagi, dan dikhawatirkan bisa mencapai puluhan ribu orang. Seketika, beberapa PLTN yang terletak di pantai timur pulau tersebut berhenti operasi. Jepang pun langsung kekurangan listrik. Untuk pertama kalinya didalam sejarahnya, Jepang menerapkan pemadaman listrik bergilir di sembilan prefektur di Honshu bagian utara, termasuk wilayah ibukota Tokyo.






Krisis pun tak berhenti disitu. Empat reaktor nuklir di PLTN Fukushima Daaichi di Prefektur Fukushima mengalami kegagalan sistem pendingin, yang membawa risiko meleleh dan meledaknya teras reaktor, menyebarkan awan radioaktif maut ke seluruh Jepang. Kunihiko Yamaoka, Wakil Ketua Dewan Redaksi Harian Yomiuri Shimbun di Tokyo, menyatakan, tak pelak lagi, perdebatan tentang pemanfaatan energi nuklir di Jepang akan kembali memanas setelah kondisi pascabencana mulai stabil. “Ini adalah krisis terbesar bagi Jepang,” kata Perdana Menteri Naoto Kan Jumat kemarin (18/3).
Peta Rawan Nuklir Jepang
Peta Rawan Nuklir Jepang
Krisis nuklir di Jepang namapaknya akan menjadi ancaman yang besar, lebih besar dan mengerikan dampaknya daripada tsunami yang telah terjadi saat ini. Setelah gempa bumi dan tsunami pada hari Jum’at, pada Selasa terjadi sebuah ledakan merusak  tempat penyimpanan inti nuklir di satu reaktor dan kebakaran di lain memuntahkan sejumlah besar bahan radioaktif ke udara.
Sebelum gempa dan tsunami menerjang, keempat reaktor tersebut sebenarnya telah dalam kondisi non-aktif untuk perbaikan. Akan tetapi masih ada sisa – sisa bahan bakar yang telah dikeluarkan dari reaktor di tempat tersebut. Para ahli menduga, kolam penampungan bahan bakar tersebut mengering, hingga bahan bakar tersebut memanas dan terjadilah api. Hal tersebut sama bahayanya dengan melelehnya bahan bakar yang berada di dalam reaktor aktif, karena bahan bakar tersebut juga dapat memuntahkan radiaktif ke udara.
Di kota Tokyo yang berjarak 170 mil sebelah selatan dari reaktor di Fukushima, tingkat radiasi pada hari Selasa telah terdeteksi 20 kali dari keadaan normal. Pada level ini, dampak kontaminasi radiasi tersebut tidak berdampak langsung pada kesehatan. Namun keadaan lebih parah terjadi di Perfektur Ibaraki yang berada di sebelah barat Fukushima, dimana kontaminasi radiasi di udara meningkat sampai 100 kali.
Dalam pidato singkatnya pada seluruh penduduk Jepang pada pukul 1.00 waktu setempat, Perdana Meneteri Naoto Kan meminta warga agar tetap tenang, meski juga memperingatkan bahwa bahaya radiasi nuklir telah menyebar dalam keadaan “beresiko sangat tinggi” terkait kebocoran yang terus berlanjut. Dia juga berharap agar angin membawa uap radioaktif tersebut ke arah samudra pasifik, bukan ke arah pemukiman di bagian barat.
Seorang ahli nuklir Prancis dilaporkan telah memperingatkan bahwa krisis nuklir Jepang bisa melampaui bencana Chernobyl, karena ini bisa menjadi kecelakaan nuklir terburuk dalam sejarah, jika situasi tidak terkendali dalam waktu 48 jam. “48 jam berikutnya akan menentukan segalanya. Saya pesimis, karena sejak hari Minggu, saya melihat bahwa hampir tidak ada solusi yang berhasil,” Kata Thierry Charles, seorang pejabat keamanan di Institut Perlindungan Radiologi dan Keselamatan Nuklir, Prancis.
Bahkan, sebuah hipotesa pun bermunculan, bahwa nama HAARP-lah yang bermain dalam gelombang dahsyat tersebut sekaligus juga tidak menampik bahwa HAARP ada di belakang ini semua.  Menurut hipotesa tersebut, ada sebuah fakta tentang Kebangkitan kedua Kapitalisme Marxis di Amerika Serikat (AS) yang bertindak semena-mena terhadap negara lainnya. HAARP sendiri adalah singkatan dari High Frequency Active Auroral Research Program. Sebuah alat pengubah cuaca. Menara transmisi HAARP terletak terpencil di daerah Alaska, dan dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan energi yang sangat besar dan kemudian dipancarkan ke lapisan ionosfer.
Namun benarkah HAARP yang notabene menjadi program senjata pemusnah masal AS menjadi dalang untuk menghancurkan Jepang dan merebut senjata nuklir Jepang?
Ada pepatah, tidak pernah ada sekutu abadi bagi AS. Bahkan Indonesia sekalipun. Era kemenangan Demokrasi Liberal, seperti thesis Fukuyama adalah jalan untuk sebuah negara menginjak negara lain. Era bagi sebuah kekuatan asing yang terus membangun kedigdayaannya dengan cara berbohong, membohongi konsumennya.
Konstelasi politik Asia Timur diramaikan pada persengkataan antara kekuatan nuklir dan militer di antara banyak negara. Jepang sebagai bagian negara super power Asia, memiliki investasi nuklir yang bisa menjadi bom waktu bagi siapa saja, termasuk AS. Ini karena Jepang sejak era Perang Dunia II telah memiliki sarana dan prasana yang baik untuk mengembangkan program nuklir, sekalipun tidak begitu berhasil.
Melihat gejala ini, dalam wilayah kapitaslime global, kekuatan dan uang adalah mitra sesungguhnya. Menguasai teknologi nuklir secara masif akan mendongkrak kekuatan suatu negara menjadi negara powerful yang memiliki bargaining dengan kekuatan politik lainnya.
Surwandono, salah seorang pemerhati Hubungan Internasional di Yogyakarta, menyatakan bahwa dengan penguasaan teknologi nuklir, setidaknya negara besar yang selama ini bisa mendikte perilaku politik negara kecil, akan berfikir dua sampai tiga kali.
Sedikit gambarannya saja bahwa kemampuan rudal Korea Utara sudah dalam kapasitas rudal jarak jauh bahkan antar benua. Inilah yang menjadi ketakutan Amerika dan Korea. Kepentingan AS terhadap nuklir Jepang sangat terasa pasca era millennium baru saat ini. Inilah yang membuat AS merasa memiliki kepentingan berarti pasca meledaknya reaktor nuklir Jepang setelah Tsunami menghempas. Bayangkan saja bagaimana kesigapan Gedung Putih melihat tragedi ini.
Minggu kemarin, Gedung Putih, seperti dilansir kantor berita Antara, telah mengirimkan para pakar ke reaktor-reaktor nuklir di Jepang. Dua reaktor di negara itu telah mengalami kerusakan akibat gempa bumi besar dan menghadapi kebocoran.
Dalam sebuah pernyataannya, Gedung Putih pun mengatakan bahwa Tim Tanggap Bantuan Bencana telah dikirimkan ke Tokyo. Tim ini termasuk petugas berkeahlian nuklir dari Departemen Energi dan Kesehatan dan Sumber Daya Manusia di samping Komisi Peraturan Nuklir (NRC). Para anggota NRC adalah pakar dalam reaktor nuklir air panas dan bersedia untuk membantu rekan-rekan mereka di Jepang.
Para pejabat dari Departemen Energi, NRC, dan lembaga lain telah mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat Jepang di Fukushima dan akan memberikan bantuan apapun bagi permintaan pemerintah Jepang, karena mereka bekerja untuk menstabilkan reaktor nuklir mereka yang rusak.
NRC juga telah menyiarkan informasi yang menyatakan bahwa Hawaii, Alaska, Amerika Serikat dan Wilayah Pantai Barat AS tidak diharapkan untuk mengalami tingkat radioaktivitas berbahaya. Amerika Serikat dan Jepang keduanya memiliki kemampuan yang sangat canggih untuk memantau dan memprediksi aliran dari setiap kebocoran radioaktif, menurut laporan media AS.
Inilah invasi besar-besaran yang bisa jadi menjadi misi sesungguhnya Amerika dalam tsunami Jepang saat ini. Alih-alih ingin membantu, AS telah mempelajari skema reaktor kuklir Jepang yang kelak jika tidak diwaspadai bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Melihat ini semua, kita layaknya sedang melihat bahwa AS sudah seperti negara paling berkepentingan sekaligus paling panik dibanding dengan Jepang sendiri melihat kasus kebocoran nuklir di Fukushima. Peter Bradford misalnya,Kepala Komisi Regulator Nuklir AS, ini mengatakan bahwa jika upaya pendinginan reaktor gagal, maka situasi di Fukushima menjadi mirip seperti di Chernobyl, Ukraina. Bradford menjelaskan bahwa dua kecelakaan nuklir terburuk dalam sejarah terjadi pada bencana Chernobyl pada tahun 1986 dan ledakan reaktor Three Mile Island di AS pada tahun 1979 dan itu bisa terulang di Jepang.
Namun terlepas dari itu semua,  apa motif sebenarnya Jepang memiliki nuklir? Apakah misi Jepang sesungguhnya ketika berniat memiliki teknologi hebat ini mengingat para ahli juga pernah mengatakan bahwa Jepang tidak begitu berhasil melangsungkan proyek nuklir. Jawabannya tidak lain karena Jepang ingin mengantisipasi jika di kemudian hari AS tidak berhasil mengatasi persoalan Korea Utara dengan baik.  Provokasi Kim Jong II, khususnya sejak uji-coba Taepodong II Juli 2006, telah menyulut kekhawatiran luas di Jepang bahwa payung keamanan AS yang dipadu dengan kemampuan peralatan yang ada saat ini, sangat tidak memadai guna melindungi Jepang seandainya Kim gelap mata.
Kekhawatiran tersebut jelas sekali ketika tahun Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan resmi bahwa ia punya hak melakukan setiap antisipasi menghadapi perkembangan terakhir di Korut. Selain alokasi $1,9 milyar untuk teknologi rudal pada anggaran 2007.
Akhirnya, setiap negara dipaksa untuk berpikir bahwa perilaku tetangganya dapat setiap saat menjadi ancaman baginya, sehingga tersedia pilihan sikap yang sama persis menyangkut keamanan nasionalnya, yaitu : 1). aktif bekerjasama dan tidak bersenjata ; 2) bersenjata sementara negara lain tak bersenjata ; 3) semua bersenjata dengan kemungkinan terjadinya perang, dan ; 4) tidak bersenjata sementara negara lain bersenjata.
Jadi, sebenarnya AS di satu sisi diuntungkan oleh meledaknya reaktor nuklir Jepang dan mereka memiliki kelegaan dimana kekuatan “calon musuhnya”, suatu ketika sudah terbaca mengingat berbagai perangkat pakar nuklir AS telah meindentifikasi titik pergerakan reaktor nuklir saat ini. Lalu inikah indikasi kuat bahwa AS ada dibalik Tsunami ini?
HAARP sebenarnya adalah proyek investigasi yang bertujuan untuk memahami, menstimulasi, dan mengontrol proses ionospherik yang dapat mengubah kinerja komunikasi dan menggunakan sistem surveilans. HAARP mulai dikemangkan pemerintah AS pada tahun 1992 dan ditargetkan rampung pada tahun 2012.
Menurut salah sebuah sumber, cara kerja HAARP adalah dengan memanaskan ionosphere yang ada di langit. Hal ini dapat memanipulasi keadaan langit disekitarnya, sehingga pada masa percobaan dapat terjadi suatu hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi badai, gempa bumi, gangguan sinyal dan lain-lain.
Caranya dengan menentukan satu titik lokasi ionosphere yang akan dipanaskan, lalu tekanan yang berada di atmosfer juga akan naik. Maka tekanan yang terbentuk dikumpulkan di satu titik dan terbentuklah manipulasi jetstream).
Namun menurut sebagian kalangan, ada sesuatu yang lebih besar sedang dilakukan di tempat ini, yaitu pengembangan senjata pemusnah massal. HAARP disebut mampu menciptakan banjir dengan memanipulasi penguapan air, mampu menciptakan badai dan bahkan gempa bumi.
Dengan kemampuan ini, tentu saja itu berarti Amerika akan mampu menciptakan bencana kelaparan di wilayah yang diinginkannya. Proyek ini menurut sebagian kalangan bertanggungjawab terhadap beberapa peristiwa gempa besar, seperti gempa bumi 7,8 skala Richter (SR) di Sichuan China 12 Mei 2008, gempa bumi 7,0 SR di Haiti 12 Januari 2010, dan gempa bumi 8,8 SR di Chile 27 Februari 2010.
Ketika Haiti diguncang gempa bumi berkekuatan 7,0 SR pada 12 Januari 2010 dan menewaskan sekitar 200.000 orang, banyak media massa yang melansir pernyataan Presiden Hugo Chavez kepada surat kabar Spanyol ABC.
Dalam berita disebutkan pemimpin Venezuela itu menuduh AS menyebabkan kehancuran di Haiti dengan menguji coba “senjata tektonik”. Hal ini kontak memicu media massa Venezuela untuk melaporkan bahwa gempa bumi ini terkait dengan projek HAARP yang dapat menghasilkan perubahan iklim yang tak terduga dan keras. Sebuah laporan bahwa Amerika Serikat  berada di balik Tsunami Jepang memang sempat menuju titik terang. Dalam laporan tersebut, terlihat ada grafik peningkatan pergerakan elektromagnetik saat sebelum HAARP diaktifkan dan 36 jam pasca tsunami. Namun diketahui bersama indikasi HAARP tidak saja berada pada level eletktromagenitik, namun juga penampakan aurora di sekitar langit seperti pada kasus gempa Chile. Ini yang mesti dibuktikan.
Aurora sendiri merupakan fenomena pancaran cahaya yang menyala-nya pada lapisan Ionosfer (bagian Atmosfer yang terionisasi oleh radiasi matahari) suatu planet akibat interaksi medan magnetik planet tersebut dengan partikel bermuatan (ion) yang dipancarkan matahari.
Terlepas dari uraian diatas, dalam sebuah program yang diadakan Kementerian Luar Negeri Jepang, perkembangan program perlucutan senjata nuklir, sepanjang sepekan ini, tampak dilema Jepang terkait energi nuklir ini. Bukan hanya di sektor kebutuhan energi untuk menggerakkan kehidupan warganya, dilema nuklir Jepang juga terjadi di bidang pertahanan.
Sebagai satu-satunya negara di dunia yang pernah merasakan dihajar bom nuklir, Jepang sangat anti terhadap senjata tersebut. Jepang menjadi panglima gerakan perlucutan senjata nuklir global, dan menerapkan tiga prinsip nonnuklir, yakni tidak akan membuat/memproduksi senjata nuklir, tidak akan memiliki senjata nuklir, dan tidak akan mengizinkan senjata nuklir dibawa masuk ke wilayah Jepang untuk alasan apapun. Namun, pelaksanaan prinsip tersebut, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Bagaimanapun, Jepang masih membutuhkan ‘payung nuklir’ yang disediakan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan nasionalnya.
Apalagi pada saat kawasan Asia Timur saat ini menjadi panas baru di dunia. China makin agresif dengan kekuatan militer yang terus membesar dan Korea Utara yang sudah dua kali menguji coba nuklirnya membuat payung nuklir Amerika Serikat makin dibutuhkan Jepang. Pada tahun 2003 misalnya, Jepang mulai mengembangkan sistem rudal pertahanan yang berisikan Aegis/SM-3 Sea-based Midcourse Defense (SMD), rudal pertahanan berbasis laut, bersama dengan Amerika Serikat. Sistem rudal pertahanan tersebut akan diintegrasikan dengan empat kapal Kongo-Class air Defence Destroyer. Begitu seriusnya pengembangan kapbilitas rudal pertahanan ini, Jepang telah menghabiskan dana sebesar 8,6 milyar dolar AS.
Diakui atau tidak. Dapat diketahui bahwa Kawasan Asia Timur merupakan suatu kawasan yang relatif tidak begitu stabil. Dinamika kawasan Asia Timur menunjukkan bahwa sangat sulit untuk menciptakan suatu kerjasama yang sifatnya mutual antar negara. Hadirnya AS sebagai negara hegemoni tidak begitu saja dapat merubah karakter hubungan antar negara di kawasan ini yang cenderung kompetitif. Jepang sebagai negara aliansi utama AS di kawasan Asia Timur harus merubah orientasi pertahanannya dari ketergantungan terhadap payung militer AS menjadi self defence dalam menghadapi tantangan yang muncul ke depan.
Tentu saja, tidak mudah bagi Jepang untuk mewujudkan sumber-sumber energi baru dalam waktu dekat. Kekurangan pasokan energi akan dirasakan sementara waktu. Dunia pun yakin itu akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar